Strategi Perang Jawa: Menyergap dan Menghilang
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Dibandingkan dengan ketrampilan berperang dan kelengkapan militer antara tentara Belanda dengan prajurit Diponegoro, tentunya sangat jauh berbeda.
Para tentara Belanda, baik dari orang-orang Eropa maupun pribumi sebelum diterjunkan ke medan laga sudah dibekali ketrampilan militer, kedisiplinan, ketahanan, dan kegigihan bertempur karena memang pekerjaan mereka sebagai serdadu reguler.
Berbeda dengan pasukan Diponegoro yang terbentuk setelah meletusnya Perang Jawa yang semula berlatar belakang petani, santri, priyayi, pedagang, pandai besi, dan sebagainya.
Mereka bersedia direkrut menjadi tentara reguler Diponegoro karena berbagai macam alasan baik secara ekonomi, agama, sosial, dan politik. Untuk itulah tidak mengherankan apabila di akhir-akhir Perang Jawa banyak di antara para panglima Perang Diponegoro yang menyerah ke pihak Belanda karena diiming-imingi jabatan, pangkat, dan uang.
Panglima perang yang dahulu bahu-membahu dengan Diponegoro akhirnya harus mengakhiri perjuangan dengan Sang Pangeran karena menyerah kepada Belanda seperti Kiai Mojo, Sentot Prawirodirjo, Raden Sukur, dan sebagainya.
Studi yang menarik dari Perang Jawa adalah perang ini bertahan sampai 5 tahun. Banyak korban jiwa yang terus berjatuhan.
Dalam perang itu Belanda harus membayar sangat mahal. Sebanyak 7.000 serdadu Belanda dari pribumi tewas. Ada 8.000 personel tentara Belanda dan Eropa tewas.
Biaya perang yang harus dikeluarkan pemerintah Belanda sebanyak 25 juta gulden (sekarang setara dengan 2,2 milyar dollar AS saat ini dan jika dirupiahkan tentunya mencapai angka triliunan).
Di pihak orang Jawa korbannya hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta daerah lain sepanjang pantai utara terkena dampak perang itu. Sebanyak 2.000.000 orang Jawa atau sepertiga penduduk Jawa saat itu menjadi korban meninggal akibat perang serta seperempat dari seluruh lahan pertanian rusak berat.
Lalu strategi perang apa yang digunakan tentara Diponegoro sehingga dapat merepotkan pemerintah kolonial Belanda?
Siasat yang diterapkan oleh pasukan Diponegoro adalah perang gerilya. Strategi perang ini diterapkan karena pasukan Diponegoro kalah kualitas dan kwantitas dibanding dengan pasukan Belanda.
Rupanya Diponegoro di samping belajar dari kekalahan perang sebelumnya dengan cara perang terbuka, juga terinspirasi dari Parang Giyanti yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi kakek buyutnya yang juga menerapkan perang gerilya dengan memanfaatkan hutan belantara, pegunungan, dan desa-desa yang anti kolonial.
Orang Jawa memang sudah terbukti pejuang gerilya yang sangat hebat. Mereka mampu bertahan hidup dengan perbekalan seadanya seperti kerak nasi, akar-akaran, dan berbagai macam buah-buahan yang dapat dipetik di hutan tempat mereka bersembunyi.
Mereka bahkan mahir menggunakan senjata api (bedil) hasil rampasan. Mereka tidak mau berperang secara terbuka seperti gaya perang Napoleon yang semua pasukan berbaris rapi dan bertempur sampai ada yang kalah dan ada yang menang.
Pernah dicoba perang terbuka ketika pasukan Diponegoro bertempur di Plered, 9 Juni 1826 dan pertempuran Gowok 15 Oktober 1826.
Di Plered, tempat keraton lama itu, Kolonial mengerahkan 4.200 tentara sehingga akhirnya pasukan Diponegoro kalah telak dan hanya 40 personel yang bisa bertahan hidup dari 400 personel yang ditugaskan menjaga markas bekas Keraton Plered.
Ketika pertempuran di Gawok, Kiai Mojo menyarankan agar bertempur secara terbuka agar cepat memenangkan peperangan. Saat itu Pangeran Jayakusuma I menyarankan agar jangan bertempur secara terbuka karena jika dipaksakan tetap akan kalah.
Benar saja, ketika Diponegoro mengikuti saran Kiai Mojo bertempur secara terbuka, akhirnya pasukan Jawa kalah telak. Belajar dari pengalaman itulah, pasukan Diponegoro kemudian menggunakan strategi perang gerilya seperti yang disarankan Pangeran Jayakusuma I.
Diponegoro benar-benar memobilisasi massa apa pun latar belakangnya agar mereka dapat membantu dalam Perang Jawa. Para kuli panggul di pasar-pasar di Yogyakarta dan sekitarnya direkrut untuk mengangkut perlengkapan militer seperti membawa mesiu yang dikemas dalam kantong besar yang terbuat dari kulit.
Tidak itu saja Diponegoro juga memanfaatkan para bandit (preman kampung) yang semula ditakuti masyarakat digunakan sebagai tenaga bantuan. Tentara Diponegoro juga tidak terbatas pada orang-orang Jawa saja. Berbagai latar belakang kesukuan baik itu Jawa, Madura, Bugis, Minahasa, Maluku, dan sebagainya dijadikan sebagai tentara reguler.
Strategi perang yang paling disukai Diponegoro adalah memobilisasi masyarakat desa sebagai tenaga bantuan tentara reguler. Mereka dijadikan tenaga untuk membakar jembatan kayu dan bambu, merobohkan pohon besar sehingga jalan terhalang, menggali lubang jebakan yang mematikan dan melumpuhkan komunikasi perwira Belanda untuk meminta bala bantuan.
Agar asupan makanan pasukan Diponegoro berjalan lancar, Sang Pangeran juga membuka jalaur perbekalan.
Siasat melumpuhkan jalur komunikasi musuh dan membuka jalur perbekalan makanan bagi tentara Diponegoro rupanya sangat efektif dalam memenangkan sebuah pertempuran.
Untuk menjaga asupan makanan agar tetap lancar, Diponegoro menugaskan orang terpercaya yang masih kerabatnya yaitu putra pamannya Mangkudiningrat I yang saat itu kepala tambang di Sungai Progo. Dengan demikian tempat-tempat penyeberangan di Sungai Progo dikuasai oleh pasukan Diponegoro sebagai jalur perbekalan makanan.
Profil Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto, Pernah Masuk Jajaran Orang Terkaya RI
Strategi perang gerilya ini benar-benar menyulitkan tentara Kolonial Belanda. Mayor De Stuers, seorang perwira Belanda yang ikut mengawal Diponegoro dalam perjalanan dari Semarang ke Batavia yang juga menantu Jenderal De Kock mengatakan Siasat yang disukai dalam penyergapan adalah bersembunyi di balik rerumputan tinggi di pinggir jalan dan kemudian melancarkan tembakan senjata api.
Dalam siasat ini tentu saja tentara kolonial dapat disergap dengan mudah karena memang sebelumnya mereka tidak mengetahui jika sudah dihadang dalam persembunyian.
Diponegoro juga paham jika tentaranya bisa sewaktu-waktu dihadang dan disergap tentara kolonial. Untuk itulah di awal-awal perang, Diponegoro memerintahkan menghancurkan dinding tembok-tembok di samping jalan raya antara Magelang-Yogyakarta-Surakarta.
Strategi inilah salah satu kunci kemenangan tentara Diponegoro memenangkan perang di awal-awal perang dan menguasai daerah-daerah itu.
Siasat yang "gila" adalah tentara Diponegoro dapat membius kuda-kuda mereka untuk waktu yang cukup lama agar tidak meringkik dalam sebuah persembunyian. Siasat ini dikembangkan Panglima Sentot ketika memimpin tentara kavaleri. Caranya, kuda-kuda mereka diolesi garam pada setiap lidah kuda agar kuda-kuda itu tenang dan tetap senyap selama bertiarap menanti musuh.
Dengan strategi perang seperti itu tentu saja membuat Jenderal De Kock dibuat tidak berdaya menghadapi Perang Jawa. Berbagai strategi kontra siasat Perang Diponegoro diterapkan tetapi semua gagal sehingga menyudutkan Jenderal De Kock.
Saling menyalahkan di antara sipil dan militer, antara sesama kolonial terjadi sehingga Gubernur Jenderal van den Bosch yang baru datang dari negeri Belanda memerintahkan kepada Jenderal De Kock untuk menangkap Diponegoro hidup atau mati.
Bagi De Kock, menangkap Diponegoro dalam sebuah pertempuran tentu saja mustahil karena kelihaian Sang Pangeran. Untuk itulah menangkap Diponegoro dengan cara perundingan ditempuh.
Cara ini semakin mudah setelah De Kock pura-pura menjalin persahabatan dengan Sang Pangeran yang berujung pada penangkapannya di rumah dinas Residen Magelang yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Jawa.
Penulis Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan
Gunawan Dkk (penerjemah). 2019. Babad Diponegara. Yogyakarta: Narasi.
Peter Carey. 2019. Kuasa Ramalan Jilid 2 . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.