Simak, Ini Deretan Emiten Terkemuka di Sektor Migas
IDXChannel - Sektor industri migas telah lama menjadi sektor strategis dan vital dalam perekonomian negara. Perusahaan-perusahaan minyak di Indonesia sering mencatatkan kinerja positif saat harga minyak dunia mengalami kenaikan.
Selain itu, saham-saham perusahaan migas di Indonesia juga telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, menarik perhatian banyak investor.
Diperkirakan harga minyak mentah dunia akan terus meningkat. Beberapa alasan di balik ini adalah rencana Rusia untuk mengurangi ekspor minyak sebesar 300.000 barel per hari pada bulan September 2023.
Arab Saudi diperkirakan akan memperpanjang pengurangan produksi minyak sukarela 1juta barel per hari selama satu bulan ke depan.
Tidak hanya itu, OPEC+ juga telah menyetujui kesepakatan untuk membatasi pasokan minyak hingga tahun 2024 dalam pertemuan kebijakan terakhir mereka pada bulan Juni.
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mempertahankan pengurangan produksi minyak sebesar 3,66 juta barel per hari selama tahun 2023, serta untuk memperpanjang dan memperdalam pemotongan produksi mulai Januari 2024 dengan tambahan 1,4 juta barel per hari.
Harga minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan Oktober naik sebesar USD 1,10 atau 1,3 persen, menetap pada angka USD 86,24 per barel di London ICE Futures Exchange.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perusahaan-perusahaan migas terbesar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), mari kita simak ulasan berikut:
1. PT Rukun Raharja Tbk (RAJA)
Emiten migas pertama yakni RAJA. Didirikan pada tahun 1993 dan mulai beroperasi pada tahun 2003, RAJA kemudian melakukan penawaran umum perdana (IPO) pada tanggal 19 April 2003.
Raja diketahui milik Hapsoro, suami Ketua DPR RI Puan Maharani.
Saat ini, RAJA terus mengembangkan bisnisnya di sektor energi, baik melalui akuisisi usaha terkait dengan empat pilar bisnis utamanya maupun melalui pengembangan dan pembangunan proyek di industri sejenis dan turunannya. Pada tanggal 28 Juli 2023, harga saham RAJA tercatat sebesar Rp920 per lembar.
Pencapaian mereka termasuk membukukan laba bersih sebesar USD9,9 juta atau setara dengan Rp149,7 miliar selama semester I 2023. Angka ini mengalami peningkatan signifikan sebesar 195% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2022, yang sebesar USD3,3 juta atau Rp49,9 miliar.
Pendapatan bersih perusahaan juga mengalami kenaikan sebesar 32%. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, RAJA mencatatkan pendapatan bersih sebesar USD56 juta atau Rp846 miliar.
Di tahun ini, pendapatan bersih perusahaan mencapai USD73,8 juta atau setara dengan Rp1,16 triliun.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kinerja keuangan yang positif ini termasuk penambahan konsumen baru yang memengaruhi peningkatan penjualan gas.
Sementara itu, untuk belanja modal, perusahaan ini mencatat nilai sebesar USD32 juta atau Rp483,9 miliar hingga Juni 2023. Angka ini setara dengan 63% dari total anggaran belanja yang telah ditetapkan.
2. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
MEDC merupakan salah satu perusahaan migas senior yang telah beroperasi sejak 13 Desember 1980. MEDC resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui penawaran umum perdana (IPO) pada tanggal 12 Oktober 1994.
MEDC didirikan oleh Arifin Panigoro. Perusahaan ini fokus menyediakan jasa pengeboran minyak bumi dan gas alam. MEDC juga aktif dalam kegiatan produksi minyak, gas, dan sumber energi lainnya.
MEDC melaporkan laba bersih sebesar USD82,1 juta selama kuartal I 2023. Profitabilitas MEDC dipengaruhi oleh pendapatan yang lebih rendah dari perusahaan asosiasi.
Sementara itu, biaya pendapatan MEDC mengalami peningkatan signifikan, mencapai USD 325,7 juta pada kuartal I-2023. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh biaya konstruksi sebesar USD 76,5 juta yang tumbuh lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan angka sebelumnya, yaitu USD7,4 juta pada kuartal I-2022.
3. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS)
PGAS merupakan anak perusahaan dari Pertamina yang bergerak dalam bidang gas alam. Saham PGAS sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 15 Desember 2003.
Pemerintah mulai menjual saham PGN sejak tahun 2003. Perusahaan ini berhasil mendapatkan pernyataan efektif untuk IPO dengan nominal Rp 1.296.296.000 yang ditawarkan kepada publik.
Pada kuartal I-2023, PGAS mencatat kinerja positif dengan laba bersih yang naik sebesar 7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laba bersih yang diatribusikan ke entitas indu k mencapai USD 326,2 juta atau setara dengan Rp4,84 triliun.
Pendapatan bersih ini didukung oleh pendapatan sebesar USD 933,7 juta, laba bruto sebesar USD 176,8 juta, laba operasi sebesar USD 139,3 juta, dan EBITDA sebesar USD 281,9 juta.
4. PT Elnusa Tbk (ELSA)
ELSA telah berdiri sejak tahun 1969 dan merupakan anak perusahaan dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Perusahaan ini melakukan penawaran umum perdana (IPO) pada 6 Februari 2008.
ELSA fokus pada penyediaan jasa di sektor minyak dan gas. ELSA juga aktif dalam layanan dan perdagangan downstream migas bumi.
Dilaporkan dari berbagai sumber, ELSA mencatatkan laba bersih senilai Rp250,10 miliar selama semester I-2023. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 10,50 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022, yang senilai Rp226,33 miliar.
Laba per saham dasar ELSA juga meningkat menjadi Rp34,27 per saham, dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai Rp31,01 per saham.
Peningkatan ini sejalan dengan pendapatan usaha ELSA yang naik sebesar 8,11 persen year-on-year (yoy) mencapai Rp5,86 triliun.
Kontribusi utama berasal dari bisnis penunjang migas yang mencakup jasa distribusi, logistik energi, hingga hulu migas terintegrasi, dengan total mencapai Rp4,46 triliun untuk pihak yang berelasi, sementara dari pihak ketiga mencapai Rp1,39 triliun.
5. PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG)
ENRG memulai operasionalnya pada tahun 2001. Pada tahun ketiga mereka, tepatnya pada 7 Juni 2004, ENRG melangsungkan penawaran umum perdana (IPO). Perusahaan milik keluarga Bakrie ini memiliki fokus utama pada eksplorasi, pengembangan, dan produksi minyak mentah, gas bumi, dan gas metana batu bara.
Berdasarkan data per 28 Juli 2023, harga saham ENRG tercatat sebesar Rp226 per lembar.
Laba bersih ENRG meningkat pada kuartal I-2023. Laba neto yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk naik sebesar 70,12% secara tahunan dari USD 10,28 juta pada kuartal I-2022 menjadi USD 17,49 juta pada kuartal I-2023.
ENRG juga berhasil mengurangi pengeluaran pada pos-pos beban lainnya. Beban pokok penjualan misalnya, mengalami penurunan sebesar 9,29% year-on-year (yoy) dari USD 68,65 juta pada kuartal I 2022 menjadi USD 62,27 juta pada kuartal I 2023. Demikian pula, pengeluaran beban usaha ENRG menyusut 3,68% yoy dari USD 3,60 juta pada kuartal I 2022 menjadi USD 3,47 juta pada kuartal I 2023.
Penurunan pengeluaran tersebut berhasil menyeimbangkan penurunan kinerja ENRG pada sisi pendapatan. Penjualan bersih ENRG mengalami penurunan sebesar 8,91% yoy menjadi USD 102,54 juta pada kuartal I 2023. Pada kuartal I 2022, penjualan bersih ENRG mencapai USD 112,57 juta.
Penurunan kinerja pendapatan ini disebabkan oleh turunnya produksi gas dan harga jual minyak yang lebih rendah. Berdasarkan data perusahaan, produksi gas ENRG turun 25% dari 211 juta kaki kubik gas per hari pada kuartal I 2022 menjadi 157 juta kaki kubik gas per hari pada kuartal I 2023.
6. PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA)
ESSA bergerak di sektor energi dan kimia, dengan dua pilar bisnis utama, yaitu kilang LPG (Liquefied Petroleum Gas) dan pabrik amoniak. ESSA didirikan pada tanggal 24 Maret 2006 sebagai perusahaan pengolahan gas bumi di Palembang.
ESSA melakukan penawaran umum perdana (IPO) pada tanggal 1 Februari 2012 dengan harga saham Rp610 per lembar. Pada tanggal 28 Juli 2023, harga saham ESSA tercatat sebesar Rp655 per lembar.
ESSA melaporkan pendapatan sebesar USD168,2 juta pada semester pertama 2023, mengalami penurunan sebesar 52% year-on-year (yoy). EBITDA ESSA mencapai USD41,7 juta, mengalami penurunan sebesar 76% (yoy) pada semester I 2023.
Harga realisasi amoniak oleh ESSA turun sebesar 53% menjadi USD425 per metrik ton (yoy) pada semester pertama 2023, terutama karena menurunnya harga komoditas global sejak awal tahun 2023 akibat permintaan yang menurun.