Adang Kampanye Negatif Nikel, Pelaku Usaha Serukan Terus Tingkatkan Nilai Tambah Mineral

Adang Kampanye Negatif Nikel, Pelaku Usaha Serukan Terus Tingkatkan Nilai Tambah Mineral

Terkini | idxchannel | Kamis, 15 Mei 2025 - 06:00
share

IDXChannel - Kalangan pelaku usaha nikel menyerukan agar Indonesia tidak berhenti dalam upaya meningkatkan nilai tambah mineral, kendati muncul kampanye negatif terhadap industri ini. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menilai, kampanye negatif seperti dirty nickel tidak adil. Sebab, yang tengah melakukan hilirisasi bukan saja nikel tetapi juga industri manufaktur lain.

“Saya kira nikel ini terlalu oversucces. Indonesia saat ini sudah 60 persen lebih ya memegang market share dunia untuk produksi. Dan, kedua ada beberapa negara mungkin khawatir pada saat kita menguasai bahan baku untuk energi ke depan. Contohnya bahan baku baterai mobil listrik,” kata dia dalam keterangannya kepada media, Jakarta, Kamis (15/5/2025).

Meidy menerangkan, keberadaan sumber daya nikel memberikan manfaat bagi industri di berbagai daerah seperti di Sulawesi dan Maluku Utara. Daerah-daerah itu mendapatkan keuntungan karena pendapatan daerahnya naik dan menyerap tenaga kerja.

Selain itu, untuk negara juga mendapatkan porsi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang signifikan karena adanya penerimaan royalti. 

Dia menegaskan, anggota APNI mendukung green industri. Salah satunya adalah melakukan transisi energi dengan menggunakan new technology EV seperti memakai truck EV dan alat berat EV, hingga juga terus menjaga ekosistem lingkungan.

“Kami bicara dengan profesor air. Bagaimana mengekstrak pencemaran air, sehingga tidak terlalu berdampak kepada pemukiman, masyarakat, usaha masyarakat untuk pertanian, irigasi,” ujar dia.

Meidy mencontohkan, dalam upaya menjaga bisnis nikel yang mengutamakan keberlanjutan, Harita Nickel dan Vale Indonesia misalnya dalam menjaga tanggung jawabnya ke masyarakat, buruh terorganisasi, LSM, sektor keuangan, pembeli, dan perusahaan pertambangan tengah diaudit oleh Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). 

Lembaga ini adalah organisasi independen yang mengukur aspek keberlanjutan praktik pertambangan yang bertanggung jawab. Dibandingkan dengan standar keberlanjutan lain, IRMA termasuk yang paling sulit ditempuh, paling ketat, serta melalui tahapan panjang dan rigid. Anggota Dewan di IRMA termasuk lembaga-lembaga masyarakat sipil yang paling kritis di dunia.

Selain secara paralel terus berbenah melakukan transisi energi dan menjaga ekosistem lingkungan, Meidy mengatakan, bahwa APNI sudah berkunjung ke Tesla, Mercedes, dan BMW sebagai produsen mobil listrik untuk mendapat masukan soal rantai pasok nikel.

“Mereka mengerti keadaan Indonesia tidak sama dengan negara penghasil nikel lain. Jadi jangan dipaksa standar Eropa,” kata Meidy.

Sekadar informasi, saat ini pabrik pengolahan nikel sudah mencapai 95 smelter dan akan menjadi 145 smelter. Sejak dua tahun lalu, APNI sudah meminta pemerintah untuk menghentikan investasi smelter karena tidak sesuai dengan cadangan yang ada.

“Kekhawatiran kita kan dari cadangan nikel, cadangan kita tidak mampu untuk meng-cover keseluruhan konsumsi bahan baku biji nikel domestik. Kita tahu kan akhirnya smelter pada impor nikel dari Filipina beberapa waktu lalu, itu benar,” kata Meidy.

Sementara itu, Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengungkapkan, serangan terhadap hilirisasi mineral adalah upaya perang dagang yang merugikan negara-negara penikmat bijih nikel Indonesia selama ini. Diketahui, larangan ekspor nikel memang membuat peta perdagangan nikel dunia berubah. 

Sebagai informasi, pada 2019 tercatat Indonesia mengekspor bijih nikel 30 juta ton. Namun, pada 2020 Indonesia menghentikan ekspor dan kemudian digugat ke WTO oleh Uni Eropa.

“Tetapi ancaman gugatan WTO, tarif Trump, lalu ada Green Deal di Uni Eropa, serta kampanye soal lingkungan jangan sampai mengancam ekonomi Indonesia yang ingin meningkatkan nilai tambah mineral,” kata Redi.

Dia melihat, larangan ekspor itu menimbulkan gejolak dan ancaman pada rantai pasok nikel di dunia. Alhasil, banyak upaya mengagalkan hilirisasi mineral yang ditempuh oleh Indonesia.

Maka itu, Indonesia perlu membentuk tim dari Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri.

“Saya kira ini memang perang dagang, kita tidak bisa keras-kerasan juga. Harus negosiasi, agar tidak merugikan hilirisasi nikel kita yang notabennya untuk green industri EV,” kata dia.

Redi mempertanyakan, jika langkah Indonesia dianggap salah melarang ekspor nikel, bagaimana dengan Filipina yang juga akan melarang ekspor nikel? Filipina diketahui meniru Indonesia untuk melakukan hilirisasi nikel dengan mengadopsi UU Minerba.

“Jadi, Filipina mengadopsi UU Minerba kita, dia akan larang ekspor nikel Juni 2025. Saya kira kalau nomor 1 (Indonesia) dan 2 (Filipina) punya aturan larangan ekspor nikel tentu akan tambah gejolak pada perdagangan nikel dunia. Mereka (Amerika dan Eropa) gak mungkin beli bijih nikel dari Rusia,” kata Redi.

Dia juga menyarankan, Indonesia dan Filipina harus membuat kesepakatan dagang atau aliansi soal mineral. Atau, bahkan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN agar bisa menangkal ancaman-ancaman dagang dari Eropa.

Sementara di sisi lain, pelaku usaha harus terus menjalankan hilirisasi dengan patuh pada good mining practice.

(Dhera Arizona)

Topik Menarik