Patih Danurejo II Menurunkan Raja-Raja Yogyakarta yang Lahir dari Putrinya
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Dalam kisah terdahulu diungkapkan bahwa Patih Danurejo II merupakan seorang patih Yogyakarta yang leluhurnya jago-jago Mataram. Kakek dari ibunya adalah Sultan Hamengku Buwono I, sedangkan kakek dari ayahnya adalah Adipati Yudanegara yang kelak setelah menjabat patih pertama Yogyakarta, berganti nama menjadi Patih Danurejo I.
Sepeninggal kakeknya, ayahandanya Tumenggung Yudanegara II tidak bersedia menjadi patih, karena lebih suka menjadi Bupati Banyumas. Untuk itulah Patih Danurejo II menjabat sebagai patih di usia yang sangat muda yaitu 25 tahun.
Awalnya Patih Danurejo II merupakan pria yang baik, tetapi karena haus kekuasaan dan haus kenikmatan dunia, maka sikap dan perilakunya berubah total. Dia juga sering mabuk-mabukan ketika ada perjamuan di Karesidenan Yogyakarta. Sultan kedua sebagai raja dan mertuanya tidak menyukai sikap itu, sehingga Patih Danurejo II sering mendapat hukuman berat agar tidak mengulangi perbuatan itu.
Patih Danurejo II memang sikapnya lebih memihak Kolonial Belanda dibanding memihak Sultan Yogyakarta. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap kakeknya, Patih Danurejo I yang selalu memihak raja dan Kesultanan Yogyakarta apabila ada konflik antara Sultan Mangkubumi dengan Kompeni Belanda.
Puncak kejengkelan Sultan kedua, akhirnya Patih Danurejo II dihukum mati dengan cara dipanggil ke keraton dan di perjalanan saat Sang Patih akan naik ke Sitihinggil, dia ditangkap dan dijerat dengan menggunakan tali putih hingga meninggal dunia.
Sebagai balasan atas penghianatan kepada raja, maka Sultan kedua memerintahkan jazadnya untuk dimakamkan di pekuburan Banyusumurup tempat pekuburan orang-orang Mataram yang dianggap penghianat kerajaan. Setelah Sultan kelima naik takhta (bertakhta 1822-1826, 1828-1855), tidak lama kemudian kerangka Patih Danurejo II (kakek raja itu) dipindahkan dari Banyusumurup ke makam komplek Pathok Negoro Mlangi Sleman Yogyakarta.
Pembaca yang budiman hari itu masih hari Selasa, tanggal 25 Mei 1830. Ketika ngobrol-ngobrol dengan Letnan Knoerle, Diponegoro menceritakan bahwa putri Patih Danurejo II yang bernama Raden Ayu Sepuh menikah dengan Sultan keempat (bertahta 1814-1822), adik Diponegoro. Raden Ayu Sepuh, putri Patih Danurejo II ini merupakan hasil pernikahan dengan Ratu Angger, putri Sultan kedua. Putri Patih Danurejo II ini setelah menikah dengan Sultan keempat, diberi nama Ratu Kencono.
Ratu Kencono digambarkan oleh Residen Yogyakarta saat Inggris berkuasa di Jawa, John Crawfurd (menjabat 1811-1816) sebagai seorang putri yang cantik dan menarik. Hasil penikahan antara Sultan keempat dengan Ratu Kencono ini kelak akan melahirkan raja-raja Yogyakarta berikutnya. Gusti Raden Mas Gathot Menol yang kelak setelah naik takhta bergelar Sultan Hamengku Buwono V adalah putra Sultan keempat dengan garwa padmi Gusti Kanjeng Ratu Kencono.
Kelak walaupun Sultan kelima meninggal secara mendadak pada 4 Juni 1855 dan tidak mempunyai putra laki-laki sebagai penggantinya, yang naik takhta kemudian adalah Gusti Raden Mas Mustojo atau Pangeran Mangkubumi adik Sultan kelima, putra dari Sultan keempat dengan Ratu Kencono.
Setelah Sultan keenam meninggal dunia, kelak penggantinya menjadi raja adalah putra Sultan keenam yang bernama Gusti Raden Mas Murteja yang lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Sultan. Pengganti sultan keenam itu setelah bertakhta bergelar Sultan Hamengku Buwono VII.
Biasanya seorang raja mempunyai 2 permaisuri, tetapi Ratu Kencono adalah permaisuri satu-satunya Sultan keempat sebelum raja itu meninggal dunia dan memerintah dengan singkat (10 November 1814-6 Desember 1822). Setelah ditinggal suaminya secara mendadak, Ratu Kencono stres berat sehingga sewaktu-waktu penyakit psikologisnya kambuh.
Sumber Babad Jawa-Madura mengatakan jika penyakit gilanya Ratu Kencono kambuh, dia mengenakan busana resmi keraton sebagai cara menebus dosanya untuk kenyataan bahwa pada saat malam kematian suaminya, dia dipanggil suaminya dan menolak datang meskipun dipanggil dengan keras.
Ada lagi kisah ketika keseimbangan psikologinya terganggu, Ratu Kencono menikam mantan selir Sultan ketiga dengan sebuah keris pusaka keraton bernama Kiai Pendowo Gajah. Selir itu bernama Bendoro Raden Ayu Puspitowati yang bertugas melayani Sultan keempat suaminya sebagai pengasuh pribadi ( emban ). Kecemburuan bisa jadi menjadi sebab utama dalam insiden penusukan keris tersebut. Ratu Kencono kemudian diangkat menjadi Ratu Ageng ketika ibunda sultan keempat wafat.
Adik perempuan Ratu Kencono inilah yang dinikahkan dengan Mayor Wironegoro yang kemudian berganti nama menjadi Raden Ayu Wiryonegoro. Tetapi dalam pernikahan dengan Mayor Wironegoro, dia tidak mempunyai anak sebelum Mayor Wironegoro diasingkan Kolonial Belanda ke Banda pada Agustus 1832.
Setelah Mayor Wironegoro diasingkan, Raden Ayu Wiryonegoro menikah lagi dengan Raden Tumenggung Joyonegoro, bupati nayaka Keraton Yogyakarta. Dari pernikahan itu mereka mempunyai 7 anak, empat laki-laki 3 perempuan. Setelah mereka meninggal dunia kemudian dimakamkan di makam Kerajaan di Kotagede Yogyakarta.
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!
Penulis: Lilik SuharmajiFounder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan Carey, Peter. 2022. Percakapan Dengan Diponegoro. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Houben, Vincent, JH. 2017. Keraton Dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Yogyakarta: MataBangsa.
Mandoyokusumo, KPH. 1988. Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Badan Museum Keraton Yogyakarta.